sumber berita : http://finance.detik.com/read/2012/09/06/110834/2009814/4/ |
“Hore! Semua Kereta Ekonomi Pakai AC Mulai Tahun Depan” Demikian salah satu judul tulisan detikfinace edisi Kamis, 06/09/2012 11:18 WIB yang menarik perhatian saya
Senang rasanya jika memang pemerintah dan PT KAI sudah berniat akan meningkatkan layanan transpotasi publik terutama kereta dengan menambah fasilitas pendingin udara untuk semua kelas.
Namun, ada sedikit kekhawatiran di benak saya, jika melihat perbedaan harga yang relatif signifikan antara tiket kereta ekonomi non AC dengan kereta ekonomi yang ber-AC. Kekhawatiran akan efektifitas program ACnisasi kereta ekonomi untuk misi mengurai kemacetan di jalan raya dan menyediakan moda transportasi massal yang masih bisa terjangkau masyarakat.
Contoh, pada kereta Matarmaja (Jakarta-Malang PP). Harga tiket yang non AC (harga subsidi pemerintah) hanya sebesar Rp 51.000, sementara untuk Matarmaja yang AC harga tiketnya dijual fluktuatif pada kisaran harga Rp 155.000 hingga Rp 180.000. Untuk golongan masyarakat tertentu, selisih harga yang mencapai Rp 100.000 atau hampir 3 kali lipat lebih dari harga subsidi tentu akan semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Jika nantinya semua kereta ekonomi dibuat berAC, tentu biaya penyediaan dan pengoperasian AC akan cukup besar. Apabila tambahan anggaran subsidi dari pemerintah untuk kereta ekonomi (PSO) tidak cukup memadai, maka kenaikan harga tiket yang akan menjadi beban masyarakat akan sulit terhindarkan.
Tulisan ini bukan bermaksud ingin mengecilkan niatan baik pemerintah dan PT KAI dalam meningkatkan layanan transportasi publik tersebut, namun hanya sebagai urun rembug saja dalam rangka membantu mencarikan solusi lain untuk misi meningkatkan layanan transportasi publik, khususnya pada kereta kelas ekonomi agar masih dapat dijangkau oleh masyarakat golongan tertentu.
Salah satu indikator keberhasilan pemerintah yang diwakili Kementerian Perhubungan dalam membangun dan mengembangkan transportasi publik, akan tergambar dari seberapa besar animo atau respon masyarakat terhadap moda transportasi massal tersebut.
Bila mempelajari statistik ketersediaan tiket pada kereta ekonomi AC yang baru saja dioperasikan 2-3 bulan yang lalu, yaitu KA Menoreh (Jakarta-Semarang) dan KA Majapahit (Jakarta-Malang), menunjukkan bahwa kehadiran kereta-kereta ekonomi AC tersebut belum mampu mernarik minat masyarakat untuk memilihnya. Pada kereta ekonomi non AC, kereta bisnis, dan kereta eksekutif justru ketersediaan tiketnya seringkali lebih dulu habis dibandingkan dengan kereta jenis ekonomi AC. Hal ini mengambarkan bahwa program AC-nisasi pada kereta ekonomi belum cukup efektif memenuhi ekspektasi masyarakat akan ukuran kenyamanan pada transportasi publik.
Kecenderungan konsumen dalam menentukan pilihan kereta biasanya akan mempertimbangkan tingkat kemampuan/daya beli mereka. Dan jika harga tiket berapapun tidak menjadi masalah, maka pertimbangan selanjutnya diukur dari seberapa besar kompensasi, kenyamanan, serta ketepatan waktu yang akan bisa dinikmati mereka.
Menurut hemat saya sebenarnya masih ada alternatif lain (selain program ACnisasi kereta ekonomi) yang dapat ditempuh pemerintah dan PT KAI untuk meningkatkan layanan kereta ekonomi. Berangkat dari pemikiran sederhana saja, bagaimana mengubah kereta ekonomi menjadi transportasi massal yang lebih mengesankan kenyamanan dari bentuk layanan kereta yang pernah ada selama ini tanpa harus banyak membebani masyarakat, pemerintah maupun PT KAI. Barangkali hanya membutuhkan sebuah komitmen dari pengelola transportasi kereta, dengan mengaharapkan pengertian konsumen untuk membayar sedikit lebih mahal dari biasanya (tapi masih dapat dijangkau mereka) dan hasilnya benar-benar diniatkan untuk membiayai penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh konsumen kereta.
Jika Kementerian Perhubungan, PT KAI , dan konsumen kereta mau, dengan menaikan harga tiket kereta kelas ekonomi sebesar Rp 5.000 saja tiap penumpang, sebenarnya akan banyak yang bisa dilakukan untuk mengubah kereta ekonomi menjadi lebih nyaman dan memadai bagi penumpangnya.
Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana, kira-kira apa saja yang bisa dilakukan untuk mendesain kembali kereta-kereta kelas ekonomi seandainya hanya bisa menaikkan harga tiket rata-rata sebesar Rp 5.000 saja. Tentu saja pembenahannya harus dilakukan secara bertahap… kecuali pemerintah bersedia menalanginya lebih dulu untuk penngadaan fasilitas standar yang dibutuhkan penumpang.
kalau mau, sebenarnya dengan kenaikan hanya Rp 5 ribu pun banyak yang bisa dilakukan untuk membenahi kereta ekonom |
Jika kebutuhan dasar yang mendukung kenyamanan dalam perjalanan berkereta bisa disediakan dengan biaya yang lebih murah, maka Insya Allah akan mengundang animo masyarakat untuk beralih ke kereta, karena naik kereta ekonomi pun akan merasa tak kalah enjoy dengan naik kereta kelas eksekutif.
Membangun transporasi kereta yang makin nyaman kadang tidak selalu harus membuatnya menjadi semakin mahal.
Meskipun anggaran dana PSO (subsidi transportasi kepada masyarakat kurang mampu) ditingkatkan dari tahun ke tahun, mungkin tidak ada gunanya jika kondisi kereta ekonomi yang disubsidi tersebut tak mengalami perubahan yang berarti. Kondisi kereta ekonomi saat ini nyaris tak jauh beda dengan kondisi kereta ekonomi 5 tahun yang lalu. Yang beda baru sebatas adanya pembatasan tiket sesuai dengan tempat duduk, penerapan system boardingpass dan pembelian tiket bisa dilayani secara online.
Seyogyanya pemerintah melalui Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan bisa menyediakan transportasi kereta ekonomi yang memiliki fasilitas yang semakin layak dan memadai, sesuai dengan kebutuhan dasar penumpang selama perjalanan, namun harga tiket yang diberikan tetap dapat dipertahankan semaksimal mungkin agar dapat dijangkau oleh masyarakat kurang mampu.
Semoga ide sederhana ini dapat membantu memecahkan permasalahan yang ada.
(tulisan yang sama sudah pernah dimuat di www.kompasiana.com)
2 komentar:
pertamax
suwun cak
Posting Komentar